Banjang Tancep di Laut Tambaan - Kota Pasuruan (foto doc by Damon)
Banjang tancep merupakan sarana bagi nelayan warga masyarakat Tambaan mendapatkan ikan, dahulu sebelum nelayan di Tambaan mengenal banyak metode dalam mencari ikan, mereka hanya tahu cara memancing dan menggunakan banjang tancep ini.
Pemuda Penjaga Pantai
Banjang tancep adalah bangunan persegi empat terbuat dari pilar-pilar bambu yang berdiri saling mengaitkan di setiap sisi bangunan, berukuran 7x7 meter sampai 10x10 meter, di atas banjang terdapat gubuk kecil tempat nelayan beristirahat menunggu waktu yang tepat mengambil ikan, ada juga alat menderek tali yang disebut “Kotek” (kotek = berbunyi, karena pada waktu alat ini digunakan menimbulkan suara yang berisik) untuk menaikkan jaring persegi yang ditenggelamkan di bawah banjang, tinggi banjang ini bervariasi tergantung dalamnya dasar laut, ada yang setinggi 25 meter hingga 35 meter, untuk mendapatkan bangunan banjang setinggi itu nelayan menyambung 2 batang bambu jenis bambu petung yang tinggi dan besar, untuk meneguhkan pilar-pilar bambu itu nelayan harus menenggelamkan batu kali, menyelam dan menata batu-batu tersebut, fungsi batu kali itu agar banjang tidak goyah diterpa ombak dan disapu angin kencang di laut, keberadaan batu-batu kali besar tersebut selain sebagai peneguh banjang juga sebagai tempat ikan-ikan bersembunyi dan mencari makan, batu-batu tersebut untuk memancing ikan-ikan datang ke dasar banjang selanjutnya terperangkap dalam jaring banjang.
Wisatawan Banjang Tancep (foto doc by Pasukan Duaalam)
Untuk membetulkan posisi banjang yang miring maupun mengganti beberapa bambu sebagai perawatan banjang masyarakat nelayan menggunakan istilah “ditunjek-i” (tunjek=pukul).
Selain banjang tancep (tancep=menancap/berdiri tetap) ada juga banjang kambang (kambang=mengapung) adalah banjang yang diangkut kapal besar sehingga mampu berkeliling mengapung mencari ikan dimanapun.
Makam KH. Khuzaimi bin Syihab dan KH Tamim di Sukamiskin Bandung
Kehidupan di Tambaan dipengaruhi budaya agamis, nuansa kehidupan santri banyak berpengaruh disini, pernah suatu saat ada pemuda yang baru pulang dari Arab, orang-orang memanggilnya “Haji Hujaemi”, Haji Hujaemi ini turut melaut bersama warga lainnya (karena di Tambaan tidak ada pemuda yang menganggur), pada suatu waktu datanglah rombongan orang Arab ke Tambaan mencari sosok “Syeikh Khuzaimi”, bertemulah mereka dan orang Arab tersebut membangunkan madrasah di tahun 1924 di beri nama “Madrasah Nahdlatul Wathon”, Haji Hujaemi pun di sebut “KH. Khuzaimi” terkenal sebagai ulama’ yang berdakwa di wilayah pesisir dan menjadi guru masyarakat Tambaan, Sayangnya, KH. Khuzaimi ditangkap penjajah Jepang hanya karena tidak mau mengeluarkan fatwa membolehkan menghormati matahari di waktu pagi barang untuk sebentar, KH Khuzaimi bersikeras HARAM hukumnya menghormati matahari itu sama saja dengan syirik, bersama KH Abdullah Yasin (Kebonsari) dan KH Tamim (Gentong) dijebloskan dipenjara Sukamiskin Bandung dan meninggal disana.
Arek-Arek Tambaan berziarah ke Makam KH Khuzaimi bin Syihab di Sukamiskin Bandung (foto doc by Yusuf Rakuten)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar